Saya tidak kenal kamu, itu katamu.
Kamu tidak kenal saya, itu kataku.
Saya tahu saya telah salah merumuskan kamu. Menghakimi kamu dan bahkan marah-marah tak jelas.
Kamu bilang saya perlu memperluas pikiran saya. Melihat segala sesuatu lebih dalam dari kelihatannya.
Saya tahu saya salah.
Kamu sendiri bagaimana?
Kamu bilang gambar diri saya rusak?
Kamu tidak tahu betapa nyamannya saya dengan diri sendiri jauh sebelum saya bertemu kamu.
Gendut ataupun kurus, saya tidak peduli. Saya tahu saya ini spesial.
Saya tahu saya berbeda dengan orang lain dan itu membuat saya bangga pada diri saya sendiri.
Saya tahu saya dilahirkan di dunia dengan begitu banyak talenta dan saya tahu saya diciptakan untuk menjadi kepala bukan ekor.
Saya cinta diri saya.
Pernah tidak kamu telusuri kata-kata kamu sendiri ke belakang?
Bagaimana kamu mengkritik pipi saya yang semakin membengkak?
Kamu ingat kamu pernah berkata lebih baik menyukai orang lain dibanding saya?
Sayangku, tanpa kamu bilang pun saya tahu saya harus memperbaiki diri saya.
Luar ataupun dalam. Fisik ataupun non-fisik.
Bukankah manusia itu memang harus meningkatkan kualitas dirinya hari demi hari agar membuat dirinya berarti?
Saya sudah tahu, sayang.
Terutama jika seseorang sedang di mabuk cinta.
Bukankah ia akan semakin memacu dirinya menjadi lebih baik?
Saya tahu, sayang. Saya perlu berubah.
Tapi perlukah kamu mengatakannya bersamaan dengan kata-kata tidak penting yang sudah pasti menyakiti hati saya?
Baiklah, kamu bilang kamu bercanda.
Tapi walau itu hanya kata-kata tak berarti, pernahkah kamu berpikir bahwa kata-katamu membuat paradigma tersendiri di pikiran saya?
Bahwa kamu adalah salah satu dari pria-pria yang pernah saya kenal.
Bahwa kamu adalah salah satu dari pria-pria bermoral dangkal yang senang memuja banyak wanita.
Salahkah kalau saya bilang bahwa penghakiman saya tentang dirimu berasal dari kata-katamu sendiri?
Benar jika kamu bilang saya tidak tahu dirimu. Dan itulah kenapa saya perlu mengatakannya padamu untuk meminta konfirmasi kebenarannya.
Benarkah kamu seperti yang saya pikirkan?
Tapi, kamu malah mundur dan menjadi takut pada saya.
Begitu kamu kembali, kamu memukul saya balik dengan membuat rumusan yang tak adil tentang saya.
Ya, saya memang pernah menceritakan tentang masa lalu saya.
Apa saya lupa bilang kalau itu masa lalu?
Saya pernah anggap gambar diri saya rusak. Itu dulu.
Saya pernah membenci orang-orang. Itu dulu.
Saya pernah menyakiti orang-orang dengan brutal. Itu dulu.
Saya pernah kehilangan kendali. Itu dulu.
Baiklah, saya mengaku. Terkadang saya pikir diri saya yang dulu akan kembali.
Tapi bukankah itu wajar jika kita sedang berada di titik terbawah kita?
Saya tahu diri saya yang dulu sangat mengerikan. Tapi saya sudah belajar.
Saya tidak seperti dulu.
Saya memang bilang, koreksi, memperingatkan kamu kalau
MUNGKIN diri saya yang dulu akan kembali.
Manusia tidak bisa memprediksi kan'?
Jadi, saya menceritakan apa yang telah saya lakukan di masa lalu. Tidak semua masa lalu bisa saya ceritakan padamu, tapi kamu pasti tahu bagaimana gambarannya.
Tidakkah kamu tahu ketika saya mulai menceritakan masa lalu saya yang buruk, saya sebenarnya meminta kamu menyukai saya apa adanya, bahkan ketika saya menjadi monster sekalipun.
Tapi kamu bilang tidak menyukai saya yang sekarang.
Dari situ saya tahu kamu tidak mungkin menyukai saya apa adanya.
Dan saya, si wanita bodoh, yang tidak tahu bagaimana menghilangkan rasa cinta dari hatinya.
Yang hatinya sudah pasti pecah berkeping-keping ketika satu-satunya pria yang disukainya malah mengatakan akan membalas perasaannya di masa depan penuh kesempurnaan fana.
Saya, si wanita bodoh, yang bahkan mengatakan semua hatinya pada si pria yang disukainya bahwa dia menyukai pria itu apa adanya. Di masa buruk ataupun baik.
Saya, si wanita bodoh, yang hanya diam seribu bahasa, masih memiliki cinta pada pria yang kemudian malah berkata, "Kasihan" setelah mengatakan betapa berartinya dia di hatinya.
Saya, wanita bodoh, yang hanya bisa berdoa pada Sang Khalik agar tidak jatuh cinta lagi.