Senin, 25 Oktober 2010

Tag baru 'about me'

Blog ini adalah blog pribadi saya. Entah sejak kapan saya merasa bahwa blog ini juga perlu menulis detil diri saya, walau tidak terlalu spesifik seperti misalnya di mana alamat rumah saya atau nomor handphone. Kalau begitu ceritanya sih sori dori mori, saya nggak mau!!!

Tapi, saya rasa perlu adanya pengenalan tentang diri saya secara komplit dan topik ini akan saya beri tag ‘About me’. Alasannya, karena saya ingin ada orang-orang di luar sana, baik dari dunia Real World dan Maya World, yang benar-benar mengerti saya luar-dalam. Terutama orang-orang Real World. Masalahnya, saya ini jarang berbicara tentang diri sendiri. Kadang saya sering disalah-mengerti hingga malah muncul masalah besar, dan kemungkinan paling buruk malah terjadi kasus seperti si tuan kulit eksotis. Berantem, ribut dan yaaa~ begitulah.

So, bacalah posting-posting ‘about me’ jika anda tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang saya.

Itung-itung ini juga sebagai sosialisasi saya sebagai selebriti terhadap fans-fans hahaha *ditimpuk batu*

Sabtu, 23 Oktober 2010

Goodbye my Almost Lover




Hari itu dia menjemputku di stasiun. Kulit eksotis, kacamata bergagang hitam, helm hijau mengkilat.
Senyumnya melebar saat bertatapan denganku.

“Memangnya ada kriminal pake bilang ‘segera ke tkp’ segala?!”

Dia bicara soal isi smsku.

“Yah biasalah omongan orang keren kan’ memang kek gituh.”

Dia tersenyum. Aku juga.

Kami diam-diam saja di sepanjang perjalanan.
Berbicara entah apa yang kami candakan. Aku tidak ingat.
Sampai aku akhirnya memutuskan untuk bicara soal yang penting.

”Vid, ini mungkin akan jadi pertemuan kita yang terakhir.”

Dia hanya menepuk lututku.

”Baik-baik ya di sana.”

Cuma itu pesannya.

Pertemuan terakhir kami sebelum aku pergi ke kota lain adalah di depan gang tempat kekasihnya berada.
Aku pulang membawa seratus macam perasaan dan aku tahu aku nggak bisa menahannya.
Aku ambil telponku dan kutelpon semua orang yang muncul di pikiranku.

Welly. Tidak diangkat.
Niki. Dia baru pulang kerja dan sedang mandi.
Ell. Tidak diangkat juga.
Dan akhirnya, Hota atau si tuan mata tajam. Dia mengangkatnya.
Hatiku tenang saat dia menjawab telpon. ”Kenapa, nes? Ada apa?”

Dua jam aku tertawa, menangis, kemudian tertawa lagi dan menangis.
Di telpon. Dengan dia. Sahabat saya.

"Hota, why God make me love him from the start if it's just to hurt me?"

"It's God meant to make you wiser and stronger. You shall find true love when time flies. You shall forget him and smile remembering him. For now, just say goodbye to him. Say goodbye from your heart."

"What if I can't and I will still love him?"

"You can if you say you can. You can't if you say you can't. What's your choice?"

"Goodbye, Mr. Exotic-skin. Goodbye to your beautiful smile and your tender, loving warm heart. I will move on and have a fabolous life. Goodbye, my almost lover."

Jumat, 22 Oktober 2010

Antara Ayah dan Anak

Mungkin aneh atau absurd, tapi saya selalu terharu kalau sudah menyangkut hubungan ayah dan anak. Setiap nonton adegan film yang melibatkan seorang ayah dan anaknya, tolong jangan lihat muka saya. Dijamin, banjir air mata di mana-mana sampai pake hidung meler segala.



Ada dua film yang sangat membekas di kepala saya kalau topik ini diangkat. Pertama, film besutan Hollywood yang berjudul ‘August Rush’. Para pecinta film tingkat akut pasti tahu film ini. Film ini disadur dari novel berjudul sama yang menceritakan tentang seorang anak autis bernama Evan Taylor yang tinggal di panti asuhan. Sedari kecil dia dianggap aneh oleh anak-anak panti yang kemudian mem-bully dia karena keanehannya itu. Apa boleh buat, Evan memang selalu terpesona pada suara bebunyian di sekitarnya hingga membuatnya melupakan dunia nyata. Entah apakah itu suara desir angin yang meniup lahan padi menguning, suara dengung lebah, suara dribble bola, atau apapun itu. Buat dia, semua bebunyian itu adalah musik yang indah.

Siapa yang sangka, anak aneh seperti itu ternyata mewarisi bakat musik dari ibunya yang seorang artis pemain cello terkenal, dan ayahnya yang merupakan vokalis band underground. Evan kabur dari panti asuhan dan memakai nama samaran August Rush ketika mempelajari musik di jalanan dan di Universitas Musik terkemuka, Juilliard. Hebatnya, anak umur 11 tahun sudah bisa men-compose rhapsody sendiri dengan memakai aneka jenis alat musik alternatif, dari penutup tong sampah, gelas, wind chymes sampai instrumen concerto pada umumnya seperti violin, oboe, cello, dsb.

Dan satu adegan yang selalu membekas dari film ini, tentu saja saat Evan bertemu ayah kandungnya di jalanan ketika sedang mengamen. Mereka sama-sama tidak tahu hubungan darah di antara mereka, tapi ayahnya menatap Evan dalam-dalam seolah tersihir, merasakan ikatan yang tidak bisa dijelaskan akal sehat, seolah mengenali Evan adalah bagian dari dirinya yang paling berharga. Di detik itulah, air mata saya jatuh begitu saja. Padahal adegannya tidak begitu istimewa bahkan sangat singkat, hanya dalam itungan detik, tapi mampu membuat saya terkesan..... terharu.... dan menangis.


Film kedua, adalah film lepas produksi negeri Korea yang berjudul ’My Son’. Ceritanya tentang seorang ayah yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup sebelum anak lelakinya lahir ke dunia. 18 tahun kemudian, sang ayah mendapatkan masa bebas penjara dari pemerintah dalam jangka waktu hanya seminggu. Seminggu inilah, ayahnya bermaksud untuk pulang ke rumah untuk bertemu dengan anak satu-satunya dan juga ibunya untuk menghabis waktu bertiga. Istrinya sudah meninggal, sayangnya.

Saya kira lika-liku ceritanya hanya seputar keengganan ayah dan anak lantaran tidak pernah mengenal diri masing-masing karena tidak pernah bertemu satu kali pun, atau tentang sang anak yang sangat membenci dan malu atas kondisi ayahnya yang merupakan tahanan penjara seumur hidup. Tapi, tidak begitu. Sang anak sendiri, walau terlihat segan di depan ayahnya, dia sebenarnya selalu membangga-banggakan ayahnya di depan semua orang hingga teman-temannya malu padanya karena tidak pernah bersyukur diberkati keluarga yang lengkap. Sang ayah pun sangat bangga pada anaknya, yang walau tanpa figur seorang ayah, si anak mampu menjalani tugas sebagai kepala rumah tangga. Ia mencari uang sendiri, membayar sewa apartemen dan tetek-bengek lainnya, bahkan mengurusi neneknya yang sudah pikun dan tidak mampu melakukan apa-apa (saya sendiri dulu punya nenek pikun dan saya tahu betapa sulitnya mengurusi orang tua macam itu.)

Orangtua mana yang tidak bangga punya anak seperti itu?

Yang paling membuat dada saya sesak adalah adegan di akhir film ini. Masa bebas penjara sang Ayah pun akhirnya habis, dan polisi yang mengawasinya memberi tambahan waktu beberapa jam agar sang ayah bisa memberikan salam perpisahan pada anaknya. Mereka berdua lalu berjalan-jalan di sekitar rel kereta api sambil menikmati pemandangan berkabut di sekitarnya. Sesekali diam, sesekali berbicara. Sampai akhirnya sang Ayah menghela nafas dalam-dalam dan kemudian dengan mata berkaca-kaca dia bertanya pada anak lelaki di hadapannya, ”Katakan padaku, di mana anakku? Siapakah kamu?”

Mulanya saya pikir terjemahan subtitle film-nya ngaco, tapi ternyata memang begitu apa adanya. Si ayah menanyakan di mana anaknya, padahal sudah jelas-jelas anak lelaki di depannya itu adalah anaknya. Tapi, akhirnya si pemuda berumur 18 tahun itu buka mulut dan membeberkan semuanya. Anak asli sang ayah itu sudah meninggal dua tahun sebelumnya. Karena kanker darah.

Anak kandung dari sang ayah itu adalah sahabat dekatnya yang sudah dianggap sebagai saudaranya sendiri. Hampir setiap hari si anak kandung menceritakan ayahnya, kehebatannya, dan betapa ia mencintai ayahnya. Saat si anak kandung meninggal, dia tidak tega memberitahukannya pada sang ayah. Dia dan teman-temannya yang lain pun saling sepakat untuk menggantikan peran si anak kandung. Secara bergantian, mereka mengurusi neneknya yang pikun, memberi makan, membersihkan kotoran si nenek, membersihkan rumah, membayar uang sewa apartemen, dsb, termasuk berpura-pura menjadi anak dari sang ayah.

Dada saya sesak sekali melihat mimik muka sang ayah. Saya pernah mendengar chemistry antara ibu-anak, tapi ternyata chemistry antara ayah-anak itu juga ada. Menurut saya, hubungan seperti ini hanya ada ketika si ayah benar-benar sangat mempedulikan keluarganya.

Seperti papa saya.

Hubungan saya dengan papa memang tidak selamanya bagus. Seperti roller-coaster, selalu naik-turun secara signifikan. Kadang-kadang bisa berubah dengan drastis tanpa sebab yang jelas. Tapi, jauh dari itu semua. Jauh di dalam hati kami masing-masing, kami tahu dan mengenal satu sama lain.

Bahwa kami adalah satu entitas yang sama.
Satu jiwa dengan predikat yang sama pula.

Walau sering kami mengingkari hal itu, tapi di masa saat pikiran kami jernih, kami saling mengakuinya.

”Saya tahu kamu itu sama seperti saya. Jiwamu sama seperti saya.”

Setiap dia bilang kata-kata itu, sebenarnya air mata saya langsung memberontak keluar. Tapi dengan sekuat tenaga, saya menahannya. Mungkin di seluruh dunia ini, selain Bapa saya di surga, hanya dia yang paling mengerti tentang saya. Bukan mami saya. Bukan sahabat saya. Bukan siapapun.

Tapi, dia. Papa saya.

Ini yang membuat saya terharu dan menangis setiap melihat hubungan ayah dan anak.

Rabu, 20 Oktober 2010

Kau tidak sendiri, sayangku





Hatiku hancur, sahabatku.
Seolah jantung hendak membuncahkan segala isinya dan rongga dada tak mampu menampungnya.
Seolah rohku terhisap pergi entah ke mana, menyisakan raga kosong di sana
Aku hancur saat kamu menuangkan deritamu sore itu.
Otakku berhenti bekerja, dan dunia seakan bergerak lambat.

Aku hanya bersandar pada bantal, menangis lirih, dan juga berteriak dalam sunyi.

“God, what are You doing?”

Aku berdoa, memohon, meminta Tuhan. Tolong, Alfa, jadikan ini mimpi. Tolong, bangunkan aku dan bilang bahwa semua yang kudengar hanyalah mimpi. Alfa, kumohon. Sangat.

Aku bayangkan jika berada di posisimu, sahabatku.
Aku bayangkan setiap hal yang kau alami. Malam di mana neraka itu datang.
Aku bayangkan aku berada di sana, membunuh iblis yang menjadikanmu tawanan,
Dan aku bersumpah, sahabatku.
Jika aku ada di sana, akan kuambil jantungnya untukmu.
Dengan kedua tanganku sendiri.
Aku akan tertawa puas, menemukan diriku berdiri di atas kolam cairan merah milik sang iblis.

Sahabatku....
Seseorang, atau sesuatu mengambil jiwaku sore itu.
Aku tak mampu sekedar berdiri atau berjalan.
Di sana, di atas tempat tidur di mana aku berbaring saat menerima telponmu, aku terbujur lemah tak berdaya. Mataku terfokus pada satu titik di tembok. Sama sekali tidak berpindah.
Lama sekali aku terperangkap di posisi itu.

Apa yang bisa kulakukan untukmu, sayang?
Apa yang harus kulakukan untuk menolongmu?

Aku ingin memelukmu kuat-kuat. Tak peduli jika satu-dua rusuk memberontak kesakitan.
Aku ingin kau menangis sekencang-kencangnya di pelukanku, mengeluarkan rasa perih di dalam dadamu.
Keluarkan semuanya. Kemudian, lupakan. Lupakan malam neraka itu.
Tak peduli apakah itu akan menghabiskan waktu berminggu-minggu atau bertahun-tahun, aku ingin selalu di sampingmu, memegang tanganmu, membuatmu mengerti kalau kamu tidak sendiri.

Nggak, sayangku.
Kamu selalu punya aku.
Jangan bilang kalau kamu mau mengakhiri hidupmu yang berharga.
Jangan katakan hal-hal sia lainnya yang kubenci.
Tak tahukah kamu akan menyiksaku jika kamu pergi?
Apa kamu setega itu padaku?

Kamu mau aku setiap hari menangisimu?
Menganggap bahwa kepergianmu selamanya adalah kesalahanku, karena aku yang tidak mampu menjagamu.
Apa kamu mau membuat aku berpikir bahwa aku adalah orang yang tidak berguna, bahkan aku tidak bisa menyelamatkan orang yang berharga buatku?

Kumohon jangan seperti itu, sayangku.

Kau tidak sendiri.
Aku tidak akan membiarkanmu melalui semua ini sendiri.

Rabu, 13 Oktober 2010

What is Love to you, dear?




Pernah, si tuan kulit eksotis bertanya pada saya, “What is love to you?”

Mau tak mau pikiran saya melayang pada beberapa tahun lalu saat hati saya masih tertawan oleh makhluk Alien. Dia juga pernah bertanya hal yang sama. Deja-vu.

“Kamu duluan. What is love to you?” Malah saya yang berbalik bertanya pada si tuan kulit eksotis.

“Buatku, cinta itu adalah darahku.”

Kemudian dia bercerita tentang kisah lamanya. Kisah cinta yang membuat dirinya tersayat-sayat penuh kesakitan, mental dan fisik. Bahwa dia sangat menghargai cinta seperti dia menghargai tiap tetes darah yang mengalir di tubuhnya. Bahwa dia adalah pribadi yang sangat menjunjung tinggi arti cinta di atas segalanya, dan itu juga yang sering membutakan matanya, dan melumpuhkan segala penginderaannya, termasuk akal sehatnya.

Saya tersenyum pahit, masih mengingat makna cinta dari seorang alien.

“Cinta kamu tidak masuk akal, nes. Buat aku, cinta itu tumbuh karena saling mengenal satu sama lain, dan tanpa kita sadari, kita jadi makin membutuhkan satu sama lain.”

Sangat logis pemikirannya. Dia pun berkata demikian karena saya sebelumnya sudah menjelaskan bagaimana perasaan menggila di dada saya padanya bermulai. Dan itu juga yang saya ucapkan pada si tuan kulit eksotis. Kurang lebih sama.

”Buat aku, cinta itu haruslah sebuah chemistry. Sebuah rasa ketertarikan tanpa alasan jelas. Sangat misterius, dan tidak bisa dijelaskan oleh pikiran sehat, tapi sangat nyata. Buat aku, rasa itu harus sudah ada bahkan pada pandangan pertama. Memang sangat perlu untuk mencintai seseorang dengan alasan, tapi buat jenis orang seperti aku yang mudah bosan dengan semua hal, mencintai orang lain dengan alasan sama halnya saya yang suka menggonta-ganti baju begitu saja. Karena begitu alasan itu hilang, saya tidak lagi mencintai orang itu. Perasaan saya langsung hilang semudah saya menyingkirkan debu dari tangan saya. Tapi ketika saya mencintai orang tanpa alasan, walau orang itu berubah sekalipun, sampai akhir hidup saya, saya mungkin akan tetap mencintainya. Selamanya nggak akan berubah, walau sudah sekuat tenaga berusaha untuk menghilangkannya.”

Sebenarnya, saya tidak pernah sejelas di atas ketika mengungkapkan perasaan saya. Seringnya sih mungkin karena saya begitu gugup dan salah tingkah berada di samping si tuan kulit eksotis, maupun si alien. Jadi, mungkin sampai saat ini, mereka tidak mengerti arti perasaan saya.

Tapi, banyak juga teman-teman terdekat saya yang memberi tanggapan soal perasaan yang segila itu.

El, adik saudara jauh, sekaligus sahabat dan soul mata saya, bilang ”Cinta elo nggak nyata, nes. Cuma ada di dunia khayal doang. Gue nggak ngerti dan nggak percaya dalam hal ’cinta’.”

Rosa juga pernah bilang, ”Bener sih kata kamu. Aku juga ngerti banget.” Masalahnya, dia itu sama persis juga kayak saya hahaha. Makanya, dia sangat mengerti soal perasaan saya.

Ada juga yang kemudian sangat mengagumi perasaan saya dan terus menyemangati saya. Ada juga yang sangat kaget seorang saya yang bisa memiliki perasaan seperti itu (karena di pikirannya, image saya itu adalah robot tak punya hati). Dan beberapa orang menyuruh saya berdoa lebih khusyuk, untuk sepenuhnya berserah pada Sang Khalik agar diberikan pencerahan terhadap perasaan saya yang sesungguhnya.

Yep, saya tahu semua orang benar dan tidak ada yang salah.

Saya harap semuanya mendoakan saya, agar bisa diberikan pencerahan dalam waktu singkat.

-SIGH-

Selasa, 12 Oktober 2010

He's still Haunting me




Gak tahu ini apa artinya. Beberapa minggu terakhir ini dia selalu ada di dalam mimpi saya nyaris setiap hari. Saya lupa bagaimana detil semua mimpi saya, tapi yang saya ingat saya selalu menatap punggung dia dari kejauhan. Rasanya dia sangat jauh sekali. Ketika pagi tiba, saya lupa mimpi apa semalam, dan anehnya, saya tidak bisa melupakan perasaan sedih yang terbawa dari mimpi.

“Kamu pernah patah hati?” Saya bertanya pada teman lama saya, si tuan mata tajam. Dia pribadi yang sangat rumit. Kadang dia bisa menjadi sahabat yang mau mengerti setiap kondisimu. Kadang dia seperti seorang Jenderal congkak yang selalu merendahkan orang-orang di sekitarnya. Dan selalu, apapun yang ia katakan selalu tajam dan tak berperasaan. Namun itu semuanya bukan tanpa alasan dan tanpa dasar yang kuat. Dia lakukan itu untuk membangun orang-orang di sekitarnya. Itu alasannya saya selalu mencari-cari dia walau sejahat apapun dia sama saya hahaha.

“Pernah.” Jawab dia.
“Then, how can you heal a broken heart?”
“I just let her go. Ikhlas. Itu aja.”
“Aku juga udah ikhlas kok. Tapi kenapa aku ngga bisa hilangin rasa ama dia?”
”Itu karena kamu belum benar-benar ikhlas.”

Saya seolah ditampar oleh perkataannya. Dan saya diam. Cukup lama. Untuk berpikir. Untuk merenung.

Saya ingin mendebat si tuan mata tajam, tapi saya tahu di masa seperti ini saya tidak akan sanggup mementalkan semua perkataannya. Saya tahu saya nggak akan bisa menang dari dia. Dia akan terus berkicau terus dan terus dengan sedikit menghina diri saya, lalu saya akan membalas, menyindir dia soal situasinya yang ‘aneh’ bersama seseorang yang selalu dicintainya sejak dia masih SMA dulu. Kemudian dia tidak terima dan malas berbicara dengan saya. Saya juga begitu dan akhirnya kami baru berbicara beberapa minggu kemudian setelah kami amnesia dengan semua kata-kata kami.

Haha kami berdua memang aneh. Yang membuat saya heran sama sekali, walau kami telah bertengkar sesering apapun, walau dia berkata tajam dan saya pun juga demikian, walau lamanya waktu kami tidak berbicara, kami masih bisa menjadi diri kami sendiri, saling bicara dari hati ke hati tanpa batasan apapun. Entah agama, gender, apapun itu.

Untuk sekarang? Yeah, saya hanya bisa diam

Saya masih dihantui bayangan seseorang. Menyedihkan. Sangat.

Hanya Tuhan yang tahu kenapa dia selalu muncul di mimpi saya hampir setiap hari.

-sigh-

Senin, 11 Oktober 2010

Happy for You, my dear bff




Sungguh, saya turut bahagia untuk kamu.
Kamu yang nyaris serupa dengan saya.
Mudah terlena dengan kaum adam berkulit pualam dan halus seperti boneka.
Namun mudah pula menghilangkan perasaan suka dari hati semudah menyingkirkan debu dari atas pundak.

Kamu yang sekalinya mencintai seseorang, malah membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk melupakannya.
Kamu yang selalu menggunakan intonansi bicara keras saat mempedulikan seseorang.
Kamu yang selalu terbata-bata dan salah tingkah saat berbicara dengan orang yang disukai.

Kamu dan aku. Berasal dari planet yang sama.
Kamu dan aku. Makhluk sejenis yang kebetulan menjadi sahabat.

Ini rahasia. Beberapa tahun lalu, tahukah kamu saya mengalami ’kehancuran mental’ yang luar biasa hebatnya?
Ya, saya baru saja mengalami fase di mana saya mengasingkan diri dan menjauh dari peradaban manusia.
Saat saya bertemu kamu, saya baru saja melakukan terapi dengan psikolog.
Saat saya bertemu kamu, saya selalu membungkus tubuh saya dengan jaket untuk menutupi dua lengan penuh luka-luka sayatan pisau.
Saat saya bertemu kamu, saya memutuskan untuk acuh tak acuh dengan semua orang.

Tidakkah kamu merasa heran mengapa saya nyaris tidak berbicara dengan hampir separuh lebih orang di dalam kelas?
Bahkan, saya nyaris tidak mengetahui nama mereka semua tanpa kamu di sisi saya.
Apa kamu tidak bertanya-tanya dalam hati mengapa saya hanya berbicara dengan kamu dan teman kita yang satu lagi?
Ataukah diam-diam kamu sudah curiga saat saya sering tidak masuk kuliah dan selalu mengasingkan diri di dalam kelas?
Ya ya ya, saya tahu. Mungkin nilai-nilai saya yang bagus nyaris menghilangkan kecurigaanmu.
Atau karena keaktifan saya di kelas yang selalu mendebat dosen membuat kamu merasa kalau saya ini mungkinlah hanya orang pendiam?

Jujur, saya berterimakasih sekali sewaktu kamu, tanpa alasan, membicarakan tentang buku komik yang merupakan hobi saya.
Berawal dari hal sesimple itu kita berkembang menjadi sahabat seperti sekarang.
Memang prosesnya sendiri tidak mudah.
Mungkin kamu tahu ketika saya membicarakan kekuranganmu pada teman kita yang lain.
Saya minta maaf.
Seiring waktu, saya kini tahu siapa yang benar-benar teman, siapa yang bukan.

Ya, sekarang saya turut senang perihalmu.
Kamu yang selalu minta dukungan kami untuk mengejar pria-pria impianmu.
Dari si tuan ’charming-but-jerk’, lalu si tuan ’perfect-smile-and-smooth-skin’, tuan ’pipi babi imut’,
Dan terakhir ini, si tuan-diam-diam-mencuri-hati yang kini menjadi pasangan resmimu.
Saya senang kamu akhirnya mendapatkan seseorang yang benar-benar sesuai denganmu, walau perjuanganmu belum berakhir sampai di sana.
Tapi saya senang...

Kisahmu tidak berakhir seperti kisah saya.
Setidaknya kisahmu menjadi embun penyejuk di hati saya.
Kamu bahagia. Saya juga, sahabat tersayangku.



PS: Tulisan ini terlarang untuk Rosa. Gue tahu lo pasti ngakak guling-guling sambil teriak kencang, ”LEBAY BANGET LO NES!!!!” Plis deh. Mau ditaro di mana nih muka kalo elo ngomong gitu?! Tapi serius, gue benar-benar seneng banget denger elo udah nggak sendirian lagi wkwkwkwk.

Oh ya, tulisan ini juga terlarang untuk my best girl Mon-Mon. Gue tahu lo dengan segala isi dunia kesinisan elo akan berkata apa. Iyeh, gue juga tau elo sirik mampus wkwkwk. Tenang, Mon. Gue juga akan buat hal serupa kalo elo ngga jahat ama gue wkwkwk.

Pasar Seni ITB

Gw bingung harus bagaimana menilai acara ini. Sumpah, benar-benar perjuangan banget hanya untuk sampai di lokasinya sendiri. Tiga jam gw stuck di jalan untuk bisa ke ITB doang. Udah gw bilang sebelumnya. Bandung itu neraka untuk semua kendaraan bermotor. Belok sedikit, langsung ketemu macet, terutama di jalan Dago. Gw sendiri udah keburu ilfeel duluan sebelum nginjak kaki di sana.

Tapi emang nggak rugi datang ke kampus selevel ITB, apalagi kalo udah ngomongin seni segala. Gw sendiri udah lumayan ngerti beberapa orangnya yang emang nggak mati-mati jiwa kreativitasnya. Sampe-sampe gw sempat nyesel nggak kepikiran untuk masuk ke ke ITB. Yah apa boleh buatlah. Gw nggak gitu suka ilmu eksak hehe.

By the way, begitu masuk, gw langsung disuguhin anak-anak cewek belia yang memakai dandanan super seram, gabungan antara hantu dan korban kecelakaan. Gw merinding waktu salah satunya ada yang berteriak, “Aku cantik, kan? Aku cantik?” dengan dandanan muka penuh korengan luka mengerikan, tubuh gendut dan rambut berantakan. Nada bicaranya juga ala psycho akut. Sayang gw nggak sempet motretnya. Adek gw ketakutan dan langsung narik ke mobil-mobil rongsokan yang dicat pilok. Ini fotonya.




Trus ada juga patung-patung yang unik. Gw suka banget.




Bukan ITB namanya kalo gak kreatif. Gw suka sama solusi mereka yang buat program penukaran botol aqua kosong dengan gelang-gelang unik sebagai bayarannya. Kek gini nih gelangnya.



Mau tahu lautan manusia di sana kek apa? Ampun deh rame banget. Gara-gara lautan manusia, janjian gw sama sekelompok anak bandung jadi batal total. Maklum, saya ini fobia lautan manusia. Begitu liat begituan bawaannya migren dan mual. Adek aja sempet hilang 2 jam. Menderita banget deh.



Sial. Masih banyak banget wahana yang belom sempet gw lihat. Kek gimana tuh wahana neraka? Terpaksa. Gw akan lihat lagi Pasar Seni ITB 4 tahun lagi. Hiks.

Senin, 04 Oktober 2010

My Blasted Saturday Night



"Misfortune shows those who are not really friends."
- Aristotle

Jauh sebelum hari itu, saya membuat keputusan besar. Untuk memulai kehidupan baru, untuk masa depan yang lebih baik, untuk meninggalkan kota yang telah saya tinggali selama enam tahun. Dan itu artinya, saya meninggalkan teman-teman saya, semua sahabat yang sudah saya anggap sebagai saudara sendiri, dan yang paling membuat saya berat adalah tidak lagi melihat dia, senyuman dia dan tak lagi mendengar suara khasnya.

Berhari-hari saya bergumul ingin memberitahunya tentang keputusan saya. Saya yang baru belajar mempercayainya, ingin sekali kembali pada masa lalu di mana kami hanyalah dua orang yang bercengkerama akrab di dalam kafe favorit kami. Tak peduli pandangan orang lain pada kami, tak peduli apa nama minuman kami dan bahkan segala di sekitar kami, kami menjadi diri kami sendiri di sana, hanya memperhatikan bahasa tubuh masing-masing. Lantas suara lirihnya memenuhi indera pendengar saya, berdua tenggelam dalam pembicaraan serius dan sesekali tertawa karena hal-hal kecil.

Saya hanya ingin itu. Tak lebih.

Alih-alih saya malah mengirimkan sms 5 lembar padanya. Dalam bahasa Inggris yang menyatakan bagaimana perasaan saya, bagaimana hancurnya hati saya, pertanyaan yang selalu merongrong pikiran saya, dan terakhir ucapan selamat tinggal.

Saya tahu dia tidak akan membalasnya. Orang biasa pasti begitu.

Tapi, kami bukan lagi orang asing yang tidak saling mengenal karakter masing-masing. Tidakkah ia tahu bagaimana karakter seorang saya yang sudi-sudinya mengirimkan hal sehina-dina begitu tanpa ada kejadian besar yang melatar-belakanginya?

Dia pasti tahu. Tapi, tetap saja tak sepatah kata 'kenapa' pun melayang.

Hati saya tetap berharap. Bagaimanapun juga saya mungkin tidak akan pernah melihatnya lagi. Teman saya menguatkan hati saya untuk menghubunginya langsung, memintanya untuk bertemu untuk terakhir kalinya.

Tapi yang saya dapatkan adalah nada tegas menyakitkan. Seperti orang yang mengusir orang asing dari pekarangan rumahnya. Seperti orang yang berteriak 'maling' pada orang lain. Seperti orang yang menginjak-injak seorang pengemis yang tak bersalah.

Di mana janji dia yang bilang akan selalu ada saat saya membutuhkan?
Di mana janjinya yang bilang dia akan selalu menjadi sahabat saya?

Saya hanya diam. Tak setetes air mata pun bisa saya alirkan. Mungkin sudah lelah. Atau terlalu sedih. Entahlah, saya juga tidak tahu bagaimana perasaan saya. Sementara pikiran saya berkecamuk. Kenapa? Mengapa? Bagaimana mungkin dia begitu? Dia tidak kenal saya kah?

Penat, saya menelepon salah satu sahabat sekaligus saudara saya.

"Please, I can not be alone tonight!"

Saya langsung pergi, mengambil barang seadanya. Saya bahkan tidak berpikir membawa pakaian ganti. Tubuh kecil mungil yang tingginya tidak lebih dari bahu saya, langsung memeluk saya dan menarik saya ke kamarnya.

"Nes, kenapa cepat sekali kamu pergi? Padahal, kita baru aja dekat."

Dia mengatakannya sambil menangis. Saya tersenyum lebar, memegang tangannya erat-erat, "Saya masih kembali ke sini. Tolong ijinkan saya menginap di sini kalau saya berkunjung ke kota ini."

Hari itu aneh sekali. Saya tidak bisa menangis sama sekali, padahal hati saya remuk redam karena terluka, dan lagi salam perpisahan mengharukan oleh teman-teman. Saya hanya bisa memiringkan senyum, dan memeluk mereka.

Total enam orang kemudian pergi makan malam di restoran terbuka. Salah satu dari kami memanggil seorang pengamen dan memintanya menyanyikan 3-4 lagu kenangan. Kami semua tertawa habis-habisan karena pengamennya berulang kali melakukan kesalahan. Satu-dua orang matanya berkaca-kaca saat bernyanyi. Di akhir, nafas saya tercekat setelah melihat hasil foto kamera yang saya ambil.

"Oh My God. I'm SO GONNA MISS THIS."

Dan beberapa orang melemparkan pandangan heran bertanya-tanya. Wajar, karena tidak semua orang tahu mengenai kepergian saya.

Setelah itu, kami pergi ke tempat karaoke sungguhan. Menari-nari seperti orang gila, bernyanyi sekencang-kencang nyaris berteriak, dan tentu saja bernarsis ria. Malam itu sungguh spesial. Saya tak lagi memikirkan dia dan segala permasalahannya.

Kami pun pulang masih dengan mengenang kejadian di tempat karaoke. Si A yang biasa kaku tapi bisa menjadi orang gila dalam waktu instan, lalu si B dan C yang suaranya menggila pada lagu-lagu tertentu. Kami semua senantiasa tertawa hari itu. Jualan gigi kata orang.

Sesampainya di rumah, saya membuka hp. Dua pesan. Dari dia.

"Maaf yang tadi. Aku tadi ke rumahmu, tapi kamu nggak ada. Kamu seharusnya jangan menghubungi aku di jam itu. Just message me on email. Key?"

Saat itu, air mata saya pecah dalam hening. Dua orang di samping menemani saya.

"Kak, he's so weird."

Just like me, batinku.

Just like me.