Rabu, 25 Agustus 2010

Ukh, dia kenapa?

Saya berjalan menelusuri lorong dan dia di sana. Tentu, saya pura-pura tidak mengenalnya.
Sedangkan dia sudah memperhatikanku dari kejauhan. Mungkin terheran-heran kenapa saya ada di sana?
Curi-curi pandang sesekali, saya risih melihat bola matanya yang masih mengikuti saya.

WATDEHEL.... NAPA SIH LIAT-LIAT?

Saya masih ingat beberapa tahun lampau, dia dengan senyum meringis manja memanggil nama saya penuh harap, Ines... Ines... Ines, lalu mengekori saya dari belakang. Kalau lihat dia, saya jadi teringat pada seekor anak anjing yang menggoyang-goyangkan ekornya penuh antusias ketika bertemu majikannya. Saya pun dengan senyum nan ramah menyapa dia dan berkata-kata padanya dengan nada suara selembut, sehalus dan seformal mungkin. Mungkin cuman dengan dia suara saya bisa bak peri begitu.

Saya bertanya-tanya dalam hati, kenapa dia bisa 'nempel' gituh sama saya? Apa karena saya sebegitu charming, mempesona, ramah dan suka menabung? Tapi kami berdua tidak terlalu mengenal satu sama lain. Tak mungkin kan dia tahu kepribadian saya yang suka menabung? Saya perhatikan orang-orang sekelilingnya, tak banyak orang yang bernada ramah padanya. Tidak satu dua kali saya mendapati para kaum hawa mendecak kesal secara terang-terangan ketika berbicara padanya. Mulut mereka memberengut dan mata mereka tajam mendadak saat menoleh padanya, seolah ingin cepat-cepat lari dari hadapan dia.

Lama sekali saya keheranan melihat situasi ini sampai akhirnya perkataan teman saya mengganggu saya.

"Eh nes, cowok elo tuh dari tadi nyariin elo." Teman saya berkata dengan nada kesal.

"Cowok yang mana?"

"Itu yang biasa ngekorin elo."

Sejak itu, teman saya memanggil dia 'cowok' saya. Saya tidak suka. Akhirnya, saya benar-benar menjauhi dia. Saat dia memanggil nama saya dengan nada manja kekanakannya, saya pura-pura tidak mendengar dan kemudian mempercepat ritme langkah kaki saya yang tentu saja tidak bisa dia ikuti. Dia pun tahu saya menjauhinya setelah beberapa lama. Dia berhenti memanggil nama saya sama sekali.

Jauh sebelum saya menjauhinya, sebenarnya saya tahu kenapa para kaum hawa kesal padanya. Saya pun sempat kesal, tapi saya masih berusaha baik padanya jika melihat kondisinya. Saya menjauhinya karena saya risih dibilang pasangannya. Maaf.

Ukh, beberapa tahun setelahnya, saya merasa gelombang perasaan tak enak menyerang saya melihat dia di sana. Perasaan bersalah makin menggunung ketika mengingat bagaimana kaki pincangnya selalu dipacu untuk menyamakan langkah saya. Entah bagaimana perlakuan orang padanya sejak kecil karena kondisinya yang berbeda? Saya seharusnya menjadi bagian dari orang-orang yang bisa membuat dunianya lebih baik. Karena sedari awal, itu mungkin yang menjadi alasannya untuk 'nempel' pada saya, tapi saya malah menjauhinya.

Maafkan saya, Yus.

1 komentar:

Tuliskan kesan dan pesan anda. I only receive spam from friends only, please. Thank you.