Rabu, 10 November 2010

Hidung




Minggu pagi yang cerah, aku berjalan di pinggir pantai, kulawan angin yang menghempas tubuhku, serasa tubuhku ringan digendongnya. Melangkah tepat melihat sekeliling, merasakan sensasi laut dengan bau amis yang sangat khas merasuki relung hidungku. Kuambil nafas dalam-dalam dan tenggelam di dalam kenikmatan keindahan bahari. Menakjubkan, batinku. Sesaat sesudah itu, aku berjalan lagi mengitari pantai. Melihat langit mulai mendung, aroma tanah semakin kuat muncul ke permukaan. Aku tahu ini akan hujan. Lalu, aku segera berlari mencari tempat yang teduh agar tidak terkena basah. Makin lama hujan semakin lebat. Menunjukkan tanda-tanda semakin parah. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang kerumah dan berniat tidak bermain dengan hujan.

Hujan berlangsung berhari-hari, begitu juga hari ini. Langit menunjukkan wajah cemberutnya, membuatku malas untuk beranjak kemana-mana. Tetapi, ayah menyuruhku menemaninya pergi ke kota. Terpaksa aku menurutinya karena dijanjikan baju baru olehnya. Sesaat sebelum sampai dikota, aku mencium bau tidak sedap menyerang penciumanku. Setelah melihat dari kejauhan aku baru menyadarinya dan astaga kota itu banjir. Air bewarna kecoklatan bercampur dengan sampah mengambang-ngambang di sekitar. Air selokan pun ikut meluap menyatu dengan semua itu menciptakan aroma yang luar biasa.

Setelah pulang dari kota aku masih mengingat bau yang menyelimuti kota tadi, melihat rumah-rumah dan jalan hanyut miris rasanya. Hari semakin mendung, gemuruh petir pun menyambar-nyambar. Perasaanku sangat tidak enak sekali. Dan badanku gemetar, ternyata bukan badanku saja tetapi seluruh isi rumahku ikut bergoyang. Oh Tuhan gempa! Apa yang harus kami lakukan, harus melarikan diri kemana? Orang tuaku menarikku keluar mencari tempat yang aman. Angin berhembus kencang sekali, sangat tidak bersahabat seakan kita mau dilemparnya jauh-jauh. Segera kita menjauhi pantai dan naik ke dataran tinggi. Dari jauh aku melihat ombak berarak tinggi sekali, setinggi pohon kelapa. Akankah ini tsunami?

Berhari –hari kami dievakuasi bersama warga lainnya dan akhirnya kami turun untuk melihat keadaan. Tercium bau menyengat yang menusuk hidung, bau ini… bau mayat yang bergelimpangan dimana-mana. Kami cuma bisa meratapi dan menangisi keadaan. Regu penolong berlalu lalang untuk mengangkat mayat-mayat itu. Bau yang tak sedap itu muncul dari kuman- kuman jenazah yang menimbulkan gas metana. Aku tidak kuat mencium dan menyaksikan fenomena tersebut, akupun segera pergi menjauh dari tkp. Betapa pedih hatiku untuk merasakan kejadian tersebut. Belum lagi kudengar kabar, bahwa desa sebelah sedang digemparkan gunung meletus. Debu panas menghujani lembah dan kawah di sekitarnya. Tak ayal bau belerang menghampiri desa kami dan debu- debu putih berterbangan di udara. Oh Tuhan apa yang sedang terjadi di negeri ini? Banjir, bau-bau mayat sehabis gempa dan tsunami, dan bau belerang akibat gunung meletus menghampiri kami. Meluluh lantahkan kami, tolong kami ya Tuhan.

((by my little sister, yang secara mengejutkan ternyata punya bakat menulis hehe. I'm so proud of her.))

1 komentar:

Tuliskan kesan dan pesan anda. I only receive spam from friends only, please. Thank you.