Senin, 04 Oktober 2010

My Blasted Saturday Night



"Misfortune shows those who are not really friends."
- Aristotle

Jauh sebelum hari itu, saya membuat keputusan besar. Untuk memulai kehidupan baru, untuk masa depan yang lebih baik, untuk meninggalkan kota yang telah saya tinggali selama enam tahun. Dan itu artinya, saya meninggalkan teman-teman saya, semua sahabat yang sudah saya anggap sebagai saudara sendiri, dan yang paling membuat saya berat adalah tidak lagi melihat dia, senyuman dia dan tak lagi mendengar suara khasnya.

Berhari-hari saya bergumul ingin memberitahunya tentang keputusan saya. Saya yang baru belajar mempercayainya, ingin sekali kembali pada masa lalu di mana kami hanyalah dua orang yang bercengkerama akrab di dalam kafe favorit kami. Tak peduli pandangan orang lain pada kami, tak peduli apa nama minuman kami dan bahkan segala di sekitar kami, kami menjadi diri kami sendiri di sana, hanya memperhatikan bahasa tubuh masing-masing. Lantas suara lirihnya memenuhi indera pendengar saya, berdua tenggelam dalam pembicaraan serius dan sesekali tertawa karena hal-hal kecil.

Saya hanya ingin itu. Tak lebih.

Alih-alih saya malah mengirimkan sms 5 lembar padanya. Dalam bahasa Inggris yang menyatakan bagaimana perasaan saya, bagaimana hancurnya hati saya, pertanyaan yang selalu merongrong pikiran saya, dan terakhir ucapan selamat tinggal.

Saya tahu dia tidak akan membalasnya. Orang biasa pasti begitu.

Tapi, kami bukan lagi orang asing yang tidak saling mengenal karakter masing-masing. Tidakkah ia tahu bagaimana karakter seorang saya yang sudi-sudinya mengirimkan hal sehina-dina begitu tanpa ada kejadian besar yang melatar-belakanginya?

Dia pasti tahu. Tapi, tetap saja tak sepatah kata 'kenapa' pun melayang.

Hati saya tetap berharap. Bagaimanapun juga saya mungkin tidak akan pernah melihatnya lagi. Teman saya menguatkan hati saya untuk menghubunginya langsung, memintanya untuk bertemu untuk terakhir kalinya.

Tapi yang saya dapatkan adalah nada tegas menyakitkan. Seperti orang yang mengusir orang asing dari pekarangan rumahnya. Seperti orang yang berteriak 'maling' pada orang lain. Seperti orang yang menginjak-injak seorang pengemis yang tak bersalah.

Di mana janji dia yang bilang akan selalu ada saat saya membutuhkan?
Di mana janjinya yang bilang dia akan selalu menjadi sahabat saya?

Saya hanya diam. Tak setetes air mata pun bisa saya alirkan. Mungkin sudah lelah. Atau terlalu sedih. Entahlah, saya juga tidak tahu bagaimana perasaan saya. Sementara pikiran saya berkecamuk. Kenapa? Mengapa? Bagaimana mungkin dia begitu? Dia tidak kenal saya kah?

Penat, saya menelepon salah satu sahabat sekaligus saudara saya.

"Please, I can not be alone tonight!"

Saya langsung pergi, mengambil barang seadanya. Saya bahkan tidak berpikir membawa pakaian ganti. Tubuh kecil mungil yang tingginya tidak lebih dari bahu saya, langsung memeluk saya dan menarik saya ke kamarnya.

"Nes, kenapa cepat sekali kamu pergi? Padahal, kita baru aja dekat."

Dia mengatakannya sambil menangis. Saya tersenyum lebar, memegang tangannya erat-erat, "Saya masih kembali ke sini. Tolong ijinkan saya menginap di sini kalau saya berkunjung ke kota ini."

Hari itu aneh sekali. Saya tidak bisa menangis sama sekali, padahal hati saya remuk redam karena terluka, dan lagi salam perpisahan mengharukan oleh teman-teman. Saya hanya bisa memiringkan senyum, dan memeluk mereka.

Total enam orang kemudian pergi makan malam di restoran terbuka. Salah satu dari kami memanggil seorang pengamen dan memintanya menyanyikan 3-4 lagu kenangan. Kami semua tertawa habis-habisan karena pengamennya berulang kali melakukan kesalahan. Satu-dua orang matanya berkaca-kaca saat bernyanyi. Di akhir, nafas saya tercekat setelah melihat hasil foto kamera yang saya ambil.

"Oh My God. I'm SO GONNA MISS THIS."

Dan beberapa orang melemparkan pandangan heran bertanya-tanya. Wajar, karena tidak semua orang tahu mengenai kepergian saya.

Setelah itu, kami pergi ke tempat karaoke sungguhan. Menari-nari seperti orang gila, bernyanyi sekencang-kencang nyaris berteriak, dan tentu saja bernarsis ria. Malam itu sungguh spesial. Saya tak lagi memikirkan dia dan segala permasalahannya.

Kami pun pulang masih dengan mengenang kejadian di tempat karaoke. Si A yang biasa kaku tapi bisa menjadi orang gila dalam waktu instan, lalu si B dan C yang suaranya menggila pada lagu-lagu tertentu. Kami semua senantiasa tertawa hari itu. Jualan gigi kata orang.

Sesampainya di rumah, saya membuka hp. Dua pesan. Dari dia.

"Maaf yang tadi. Aku tadi ke rumahmu, tapi kamu nggak ada. Kamu seharusnya jangan menghubungi aku di jam itu. Just message me on email. Key?"

Saat itu, air mata saya pecah dalam hening. Dua orang di samping menemani saya.

"Kak, he's so weird."

Just like me, batinku.

Just like me.

4 komentar:

  1. gak bisa ngomong. aku jd mendadak takut berpisah dg si dia juga nih. hiks....

    BalasHapus
  2. hello love,
    rushing here once i read your comment on my blog...
    engga, bukan buat inez itu...,
    tapi kalo emg postingannya berbicara ke kamu,
    maybe you can pick something out of it... :)
    i'm here to support you kok, nez...
    girls are sisters,
    you got my back...
    i'm online if you need me.
    :)

    BalasHapus
  3. mbak, blog nya bagus banget deh. aku follow ya :)

    BalasHapus

Tuliskan kesan dan pesan anda. I only receive spam from friends only, please. Thank you.